Dulu Hotel Tampung Ratusan Orang Rapat, Kini Kosong bak Pandemi
ihgma.com – Hotel bintang 5 diprediksi kehilangan pendapatan sebesar Rp 500 juta hingga Rp 3 miliar per bulan akibat efisiensi anggaran pemerintah.
Data tersebut didapat dari survei Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) pada 312 hotel bintang 3, 4, dan 5 di seluruh Indonesia.
“Rata-rata di hotel member kami, penurunan tingkat hunian itu mencapai 35 persen dari total jumlah kamar per hotel,” ujar Wakil Ketua Umum IHGMA Garna Sobhara Swara dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, seperti dikutip dari Kompas pada Selasa (4/3/2025).
Artinya, okupansi hotel hanya mencapai 65 persen dari keseluruhan di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. “Jadi bisa dibayangkan kalau hal seperti ini terjadi dan dikali per 30 hari (sebulan) ya,” sambung dia.
Minimnya pendapatan hotel disebabkan oleh jumlah aktivitas Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) yang berkurang drastis di sejumlah pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis.
Adapun bagi hotel bintang 4, kerugiannya diprediksi berkisar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per hotel per bulan.
Meski kerugiannya tidak sebesar hotel bintang 5, tetapi hotel bintang 4 terkena dampak efisiensi paling besar di antara hotel berbintang dan resor.
“Karena hotel bintang 4 mempunyai convention room paling luas dengan jumlah kamar di atas hotel bintang 3,” ujar Wakil Ketua Umum IHGMA Wita Jacob.
Ruang rapat kosong
Penurunan pendapatan hotel bukan hanya berdasar pada minimnya jumlah sewa kamar hotel di seluruh hotel berbintang.
Ketua Umum IHGMA I Gede Arya Pering menuturkan bahwa merosotnya pendapatan hotel justru datang dari sepinya ruang rapat (meeting room) yang disewa oleh tamu.
Hal ini dilihat sebagai efek domino dari berkurangnya pergerakan dinas pemerintah dan rapat di hotel karena efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Kontribusi okupansi kamar hotel dan MICE di hotel itu idealnya 50 banding 50,” kata Arya.
Garna mencontohkan kasus yang terjadi di hotelnya, The 1O1 Jakarta Sedayu Darmawangsa, yang termasuk jajaran hotel bintang 4 paling terdampak.
Ia memiliki 10 ruang rapat berkapasitas total 200 orang. Usai adanya efisiensi anggaran pemerintah, semua ruang rapatnya kosong.
“Sebelum efisiensi anggaran ini, saya bisa menampung 200 tamu, tetapi saat ini kosong,” ungkap Garna.
Potensi PHK
Minimnya pendapatan hotel berpotensi pada pengurangan tenaga kerja (PHK). Semua pemimpin hotel berbintang itu sepakat bahwa tenaga kerja kasual atau harian memiliki potensi paling besar terhadap PHK.
Tenaga kerja kasual di hotel umumnya dibayar per hari atau per kedatangan. Mereka dipekerjakan sesuai permintaan hotel.
Bila permintaan hotel menurun, permintaan tenaga kerja harian untuk aktivitas MICE juga berkurang.
“Jadi, (daya listrik) ruang rapat di hotel, kami matikan. Pekerja kasual untuk banquet di ruang rapat, tidak kami minta datang,” kata Garna.
Kondisi seperti pandemi
Lebih lanjut, IHGMA mengusulkan sejumlah saran untuk mengatasi besarnya efek dari efisiensi anggaran yang dilakukan oleh presiden. Jika tidak, kondisi hotel akan seperti pandemi Covid-19.
IHGMA mengajukan adanya insentif pengurangan pajak hotel, pemberlakuan efisiensi secara bertahap agar dapat dievaluasi, program subsidi atau bantuan keuangan langsung, dan relaksasi kebijakan terkait operasional hotel.
“Jika efisiensi ini berlanjut, kami khawatir akan terjadi seperti balik juga zaman Covid-19, yaitu adalah melakukan unpaid leave terutama kepada karyawan kontrak dan tidak melakukan perpanjangan kontrak terhadap beberapa posisi di hotel,” kata Garna.