Sosok di Balik Cove, Bisnis Co-Living yang Justru Bangkit Saat Pandemi
ihgma.com – Bisnis manajemen co-living atau tempat tinggal bersama seperti kos dan apartemen semakin menggeliat. Salah satu yang berhasil tumbuh dan bangkit bahkan sejak pandemi adalah Cove.
Bukan asli Indonesia, Country Director Cove Rizky Kusumo mengatakan bahwa usaha ini bermula di Singapura pada 2018, didirikan oleh tiga founder yang merupakan orang Eropa, ada Guillaume Castagne, Luca Bregoli, dan Sophie Jokelson.
Mengutip Bisnis dari Linked In-nya, Guillaume Castagne merupakan lulusan Industrial Management and Economics dari KTH Royal Institute of Technology dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang Master of Engineering di INSA Lyon.
Sebelum mendirikan Cove, dia pernah berkarier di Lazada Group dan di Bain& Company, sebelum kemudian memulai bisnis sendiri mendirikan Vaniday pada 2015 dan mendirikan Cove pada 2018.
Kemudian, Luca Bregoli memiliki pengalaman sebagai salah satu pendiri dan COO dari bisnis dekorasi rumah daring yang meluncurkan lebih dari 200 SKU dan menjual lebih dari 1 juta produk. Dia juga pernah bekerja sebagai analis M&A perbankan investasi di Bank of America Merrill Lynch di London.
Luca sendiri meraih gelar Magister Kewirausahaan dari Sekolah Manajemen Rotterdam di Erasmus University.
Sementara itu, sebelum mendirikan Cove, Sophie sempat menjabat sebagai Manajer Pemasaran Regional wilayah AMEA untuk General Mills, tempat ia mengembangkan bisnis makanan ringan mereka di Asia melalui kemitraan dengan Alibaba.
Dia juga merupakan lulusan Program Pengembangan Manajemen Umum jalur cepat di Mars Inc, dan mengemban tanggung jawab penuh atas laba rugi sebagai Manajer Merek Senior bisnis es krim Mars di Inggris. Dia sendiri meraih gelar sarjana terbaik dalam Genetika Molekuler dari University of Edinburgh.
Cove Masuk ke Indonesia
Setelah dua tahun berdiri, Cove kemudian berekspansi ke Indonesia pada 2020.
“Kita pertama kali ekspansi ke Indonesia pas masa Covid di 2020, dan Cove pertama kita dirikan di Senopati dengan Cove Birah. Setelah itu kita terus ekspansi dan justru opportunity-nya kita banyak lihat disini, sampai tahun ini di 2024 ini kita sudah ada sekitar 150 properti yang tersebar di kota-kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, dan Bali,” jelas Rizky.
Di Indonesia, Cove menggunakan strategi yang berbeda dengan di Singapura.
Di Singapura, co-living tipikalnya adalah apartemen 4-5 kamar dan disewakan per kamar ke individual. Sedangkan di Indonesia, yang ditawarkan adalah kamar atau hunian dari sebuah apartemen atau rumah kost, yang kemudian terstandarisasi secara kualitas dan servis.
Saat ini, dengan menawarkan hunian untuk kelas menengah ke atas, Cove sudah hadir dengan sekitar 6.000 kamar di 150 properti.
“Waktu itu, dengan timing yang “tricky” kami memutar otak, bagaimana caranya kita melakukan penetrasi ke market. Tapi ya balik lagi memang rejekinya kami mendapatkan properti pertama kita di Senopati. Jadi, sudah dapat positioning pertamanya adalah. Agar bisa tetap masuk ke segmen menengah atas itu kami branding dan desain yang bagus,” tambahnya.
Kondisi Pasar di Indonesia Menurut Rizky, pasar di Indonesia untuk Co-Living menengah ke atas tetap positif meskipun secara tren menunjukkan 52 % generasi Gen Z ingin punya rumah, tapi mereka itu hanya mampu untuk membeli properti dengan harga di bawah 400 juta dan 81 juta millenial yang belum punya rumah sendiri.
“Jadi, keinginan untuk memiliki properti itu tinggi, tapi kemampuannya rendah. Di samping itu, sebenarnya bahwa milenial dan gen Z itu mementingkan experience dibandingkan material possessions, jadi sekarang dari umur 20an sampai 30an mereka pasti lebih memilih sewa dulu,” imbuhnya.
Dari sisi Cove sendiri mencatatkan permintaan untuk hunian co-living naik sebesar 67% pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun, dari sisi supply Cove, properti pertumbuhannya itu hampir 80-100% dari 2023.