Perubahan Preferensi Wisatawan Muda di Bali: Perlu Mobilitas Fleksibel & Transportasi yang Inklusif
ihgma.com – Dinamika perjalanan wisatawan muda, yang berkunjung ke Bali menunjukkan perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Karakteristik perjalanan mereka semakin fleksibel, dan tidak lagi terpola secara konvensional. Faktor-faktor seperti tren media sosial, FOMO (Fear of Missing Out), serta daya tarik visual dari destinasi yang Instagrammable dan hidden gems mendorong mereka untuk mengeksplorasi berbagai lokasi yang sedang populer, bahkan yang tersembunyi atau belum banyak diketahui.
Hal ini mengakibatkan pola mobilitas yang lebih dinamis, bergantung pada rekomendasi real-time dari media sosial serta komunitas digital.
Menurut Dr. Putu Diah Sastri Pitanatri S.ST.Par., M.Par, Akademisi Pariwisata sekaligus Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Poltekpar Bali, transportasi kini bukan sekadar sarana perpindahan, tetapi telah menjadi bagian integral dari pengalaman wisata itu sendiri.

“Studi kami menunjukkan bahwa transportasi yang nyaman, aman, dan mudah diakses sangat mendukung pengalaman perjalanan yang seamless dan menyenangkan. Hal ini menjadi lebih penting bagi wisatawan dengan kebutuhan khusus, seperti solo female travelers dan wisatawan dengan disabilitas, yang memerlukan aksesibilitas dan keamanan yang lebih baik.
Oleh karena itu, transportasi tidak hanya tentang mobilitas, tetapi juga tentang destination inclusivity, menyediakan opsi yang dapat diakses dan tersedia bagi semua orang,” ungkapnya seperti dikutip dari Tribun Bali.
Dalam kajian akademis, pola perjalanan flashpacker dikategorikan sebagai multi-centre disperse travel pattern, di mana mereka tidak hanya mengunjungi satu destinasi tetapi bergerak secara dinamis dari satu tempat ke tempat lain.
“Flashpacker memiliki karakteristik hyper-mobile, di mana mereka cenderung mengunjungi banyak lokasi dalam satu periode perjalanan. Mereka mengutamakan kebebasan, fleksibilitas, dan efisiensi dalam eksplorasi, sering menggunakan transportasi yang cepat dan fleksibel seperti motor atau layanan transportasi online untuk memaksimalkan pengalaman perjalanan mereka,” jelas Dr. Putu Diah Sastri.
Untuk mengakomodasi kebutuhan wisatawan yang beragam, moda transportasi di Bali sebaiknya bersifat komplementer, bukan dikotomis.
“Setiap jenis transportasi memiliki nilai tambah tersendiri bagi wisatawan dengan kebutuhan berbeda. Transportasi online cocok bagi wisatawan yang mengutamakan kenyamanan dan efisiensi. Transportasi lokal memberikan pengalaman otentik dan lebih privat bagi wisatawan yang ingin merasakan budaya setempat.
Sementara itu, transportasi publik menjadi pilihan bagi wisatawan dengan anggaran terbatas karena lebih ekonomis. Dengan adanya integrasi dan keterhubungan antar moda transportasi, wisatawan memiliki lebih banyak pilihan yang dapat disesuaikan dengan preferensi dan kebutuhan perjalanan mereka,” tambahnya.
Selain aspek mobilitas, pengembangan transportasi di Bali juga harus selaras dengan nilai budaya lokal. Budaya yang “ajeg” atau lestari adalah budaya yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya.
“Sebagai contoh, kain tradisional Endek yang dulu dianggap kuno kini telah menjadi bagian dari tren fesyen anak muda. Hal serupa dapat diterapkan dalam transportasi, misalnya dengan menghadirkan moda transportasi yang mengakomodasi teknologi modern tetapi tetap mempertahankan unsur budaya lokal,” kata Dr. Putu Diah Sastri.
Akselerasi dan sinergi antara penyedia layanan transportasi, pemerintah, serta komunitas lokal menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem transportasi yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan bagi sektor pariwisata di Bali.
Dengan memahami preferensi wisatawan serta mengadaptasi inovasi yang tetap menghormati budaya setempat, Bali dapat terus mempertahankan daya tariknya sebagai destinasi wisata unggulan di dunia.