MK Kabulkan Permohonan Bali Spa Bersatu, Industri Spa Bali Tidak Termasuk Jasa Hiburan

0

ihgma.com, Denpasar – Organisasi spa di Bali mengajukan keberatan terkait spa masuk dalam klasifikasi jasa hiburan.  Pasalnya jika masuk jasa hiburan maka menanggung kenaikan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dengan terendah 40 persen hingga tertinggi 75 persen.

Bali Spa Bersatu (BSB) berjuang dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasilnya, MK mengabulkan sebagian gugatan untuk mengeluarkan spa dari kategori hiburan dalam pasal 55 ayat 1 huruf I Undang-undang (UU) nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

BSB menganggap keputusan ini menjadi tonggak penting dalam memperjuangkan keadilan bagi spa Bali.  Spa merupakan bagian layanan kesehatan tradisional di Indonesia bukan jasa hiburan.

Bali Spa Bersatu mendapat angin segar atas keputusan Mahkamah Konstitusi setelah setahun berjuang. foto : Istimewa
Bali Spa Bersatu mendapat angin segar atas keputusan Mahkamah Konstitusi setelah setahun berjuang. foto : Istimewa

“Kami bersyukur perjuangan selama 1 tahun ini tidak sia-sia. Spa yang dikaitkan dengan pengobatan tradisional kini tidak lagi masuk dalam kategori hiburan,” kata Ketua Bali Spa Bersatu, I Gusti Ketut Jayeng Saputra  seperti dikutip dari Tribun Bali, pada Minggu 5 Januari 2025.

Dalam keputusan tersebut, MK telah menyatakan prase dan mandi uap atau spa yang berbasis pengobatan tradisional tidak termasuk dalam kategori hiburan.

Sehingga dengan terbitnya keputusan ini, pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengklasifikasikan spa berdasarkan definisi yang jelas sesuai KBLI, yakni berakar pada tradisi, adat budaya, dan wellness.  Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk membedakan spa otentik dengan spa yang tidak sesuai standar.

“Dari sisi tempat, fasilitas, hingga customer, semua harus mencerminkan pelayanan kesehatan tradisional. Spa otentik biasanya memiliki 80 persen pelanggan perempuan, fasilitasnya tertutup, dan trapisnya bersertifikasi sesuai SKNNI,” bebernya.

Ketut Jayeng berharap, keputusan MK ini menjadi langkah awal untuk menciptakan industri spa yang lebih terstruktur dan diakui.  Pihaknya berharap pemerintah daerah segera mengeluarkan regulasi yang jelas untuk mengklasifikasikan spa berdasarkan autentisitasnya.

“Kami berharap asosiasi seperti ASPI dapat membantu merumuskan KBLI baru yang lebih sesuai. Semua stakeholder, termasuk pemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha, harus berkolaborasi untuk menjaga marwah spa Bali,” tuturnya.

Direktur Taman Air Spa Bali dan Dewan Penasehat DPD ASPI Bali, Debra Maria Rumpesak menyampaikan, keputusan MK ini bukanlah akhir, tetapi masih ada pekerjaan rumah menanti ke depan.

“Kita harus terus memperjuangkan eksistensi Spa Bali yang autentik,” ujar dia.

Pemerintah daerah dan stakeholder, menurutnya perlu bersama-sama membangun regulasi yang jelas untuk membedakan spa otentik dengan spa ilegal yang bisa merusak citra spa Bali.  Debra juga menyoroti pentingnya sertifikasi dan verifikasi usaha spa.

Dari 1.700 spa di Bali, belum sepenuhnya memenuhi standar regulasi, seperti KBLI, NIB, sertifikasi usaha SPA, STPT Therapis dan sebagainya.

“Ini menjadi PR besar bagi kita semua untuk memastikan semua spa bisa memenuhi standar agar citra spa Bali tetap terjaga,” ujar dia.

Dikatakan, regulasi harus mampu membedakan spa otentik dari spa ilegal.

“Spa Bali telah menjadi trademark global. Jika kita tidak menjaga kualitas, negara-negara lain seperti Vietnam dan Thailand bisa mengambil alih posisi kita sebagai destinasi wellness terbaik,” jelasnya.

Hal senada dikatakan pengusaha perempuan dari Pasraman Bali Eling Spirit, Ubud, Jero Ratni.

Menurutnya, meskipun keputusan ini membawa harapan, namun membangun kepercayaan internasional terhadap spa Bali menjadi tantangan besar.

“Selama ini kami bahkan sempat takut menggunakan kata ‘Spa’ karena stigma negatif yang melekat. Tetapi, keputusan MK ini memberikan kesempatan untuk membangun kembali kepercayaan internasional terhadap spa Bali,” jelas dia.

Selain itu, dirinya menyoroti banyaknya spa di Bali yang beroperasi tanpa izin. Hal ini berdampak menciptakan stigma negatif terhadap industri secara keseluruhan.

“Ini adalah momentum bagi semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan pelaku usaha, untuk bersatu memperbaiki citra spa Bali,” jabarnya.

Sementara itu, tokoh perintis usaha Spa tradisional di Bali, Shri Bhagawan Sriprada Bhaskara, menyampaikan spa Bali memiliki akar budaya yang mendalam.

Keputusan MK ini memberikan harapan baru bagi industri spa di Bali untuk melanjutkan perjalanan sebagai bagian integral dari pariwisata dan kesehatan Indonesia.

“Spa Bali berasal dari istilah lokal seperti sui, pani, amerta, yang menggambarkan penggunaan tirta (air suci) untuk kesehatan. Ini bukan hanya tentang pariwisata, tetapi juga tradisi, budaya, dan spiritualitas,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi dengan akademisi dan institusi pendidikan seperti UNHI dan IHDN untuk mengembangkan standar kesehatan tradisional yang berbasis budaya.

“Spa Bali harus dijaga keasliannya agar tetap menjadi ikon internasional,” ujarnya.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.