BKPM Jawab Keluhan Pemprov Bali soal OSS Buat Pembangunan Tak Terkendali
ihgma.com Jakarta – Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan telah menertibkan proyek akomodasi pariwisata di Bali yang tidak sesuai perizinan melalui sistem Online Single Submission (OSS), seperti keluhan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu mengingatkan bahwa kementeriannya justru menjadi pihak pertama yang menghentikan sejumlah proyek di Bali, bukan pemerintah daerah.
“Kalau ingat kemarin sekitar 4-5 bulan yang lalu, yang ada heboh salah satu investasi properti di Rusia, itu yang cabut bukan Pemda, itu yang cabut adalah kementrian investasi.,” ujar Todotua usai agenda Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, seperti dikutip dari berita Bisnis pada Selasa (28/10/2025).
Kendati demikian, Todotua mengaku akan menerima segala keluhan terkait sistem OSS yang dinaungi BKPM termasuk yang disampaikan Pemprov Bali. Menurutnya, BKPM tengah melakukan langkah masif melalui tim Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian untuk menertibkan kegiatan usaha di Bali yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan izin OSS.
Dia tidak menampik tidak semua pembangunan villa, beach club, hotel, dan sebagainya di Bali belum memenuhi ketentuan yang berlaku. Oleh sebab itu, sambungnya, BKPM akan terus membekukan kegiatan pembangunan yang tidak sesuai standar perizinan.
Todotua menekankan bahwa pemerintah pusat dan daerah akan terus memperkuat koordinasi agar proses perizinan dan pengawasan berjalan sinergis. Dia mengaku telah berkomunikasi dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Bali untuk membentuk desk bersama.
“Karena whatever the story, dalam pelayanan perizinan ini DPMPTSP daerah juga menggunakan platform OSS,” ujarnya.
Lebih lanjut, Todotua menegaskan bahwa langkah penertiban yang dilakukan pemerintah pusat menunjukkan komitmen menjaga iklim investasi tetap tertib dan sesuai aturan.
Keluhan Pemprov Bali
Sementara sebelumnya, Gubernur Bali I Wayan Koster menilai penerapan OSS berbasis risiko (OSS-RBA) menyebabkan pembangunan hotel, vila, restoran, dan beach club di daerah pariwisata tidak terkontrol karena investor dapat langsung membangun hanya bermodal izin daring tanpa sepengetahuan pemerintah daerah.
Sementara Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Persetujuan Bangunan Gedung-Sertifikat Laik Fungsi (PBG SLF) diurus belakangan. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan secara besar-besaran yang menyebabkan hilangnya lahan sawah produktif dan turut menyebabkan banjir besar seperti terjadi beberapa waktu lalu di Bali.
Wayan Koster menjelaskan bahwa OSS perlu lebih sinkron dengan kondisi dan karakteristik daerah, khususnya Bali yang padat investasi dan memiliki struktur sosial-budaya yang unik. Selama ini dalam OSS ada ketidaksinkronan norma pusat dan daerah, lemahnya verifikasi izin, hingga berdampak terhadap kemandirian ekonomi masyarakat Bali.
“Norma yang diatur di BPP dan undang-undang pusat berlaku umum, padahal di bawah kita punya Peraturan Daerah (Perda) RTRW dan RDTR yang seharusnya jadi acuan utama. Akibatnya, izin usaha bisa keluar meskipun melanggar tata ruang,” kata Koster dikutip Senin (13/10/2025).
Dia menilai sistem perizinan yang sepenuhnya otomatis telah menghilangkan peran pemerintah daerah. Bahkan izin bagi Penanaman Modal Asing (PMA) bisa terbit tanpa verifikasi kabupaten/kota.
Koster menyebut dengan modal hanya Rp10 miliar, banyak investor asing leluasa masuk ke Bali. Padahal angka itu sering hanya tercatat di atas kertas. Praktiknya, modal di bawah Rp1 miliar tapi mereka sudah menguasai jenis-jenis usaha rakyat.
Koster mencontohkan, di Kabupaten Badung saja lebih dari 400 orang asing memiliki usaha rental kendaraan, belum termasuk usaha bahan bangunan dan kuliner yang berdiri di lahan milik warga lokal.
“Kalau dibiarkan, pelaku luar akan membanjiri sektor ekonomi kita. Ruang usaha anak-anak Bali diambil, ekonomi rakyat akan lumpuh,” ujarnya.
Koster menyoroti lemahnya pengawasan daerah yang berdampak langsung pada pelanggaran tata ruang. Kewenangan kabupaten/kota terbatas, RDTR banyak yang belum lengkap. Akibatnya, izin bisa terbit di kawasan yang seharusnya dilindungi.